Jalan Kematian

Penulis: Wiji Suprayogi

Semua orang akan mati. Itu pasti. Waktunya tidak tahu. Bisa saat bayi, bisa masa remaja, bisa masa tua. Jadi mati itu bukan persoalan umur. Mati adalah persoalan kepastian. Semua manusia meyakini setelah kematian akan ada fase baru bagi mereka, entah itu kehampaan atau kekosongan, penderitaan tak berkesudahan, perjalanan lagi untuk kembali ke bumi, atau kebahagiaan kekal. Karenanya manusia bersikap beragam terhadap kematian ini. Mereka sadar setelah kematian ada fase baru. Dan kebanyakan dari kita beranggapan kematian adalah jalan menuju fase itu.

Alkisah ada sekumpulan teolog berdebat tentang jalan menuju surga atau fase bahagia setelah kematian. Mereka menunjukkan banyak cara dan banyak jalan. Tidak ada yang sama dan bahkan mereka saling berdebat tidak karuan. Karena pusing, iseng mereka bertanya pada anak kecil yang sedang bermain, “Bagaimana cara manusia masuk surga?” Si anak kecil menjawab dengan lugu tapi membungkam perdebatan, “Mati dulu Pak, nanti bisa masuk surga” Continue reading “Jalan Kematian”

Daud : Sebuah Catatan

Penulis: Wiji Suprayogi
Bacaan: Kitab Samuel

Dulu—terutama saat sekolah minggu sampai SMP, saya membayangkan Daud ini seorang yang suci, bersih, pilihan Tuhan dan sempurna. Pahlawan gagah yang jadi idola. Tidak terbayangkan kalau akhirnya dia selingkuh dan melakukan banyak hal-hal buruk termasuk berbohong dan berbuat licik. Tapi inilah bagusnya alkitab kita menurut saya, jujur dan terbuka terhadap kesalahan sehingga kita bisa belajar banyak hal untuk tidak mengulangi atau melakukan hal buruk tadi—walau prakteknya saya lebih sering gagal dan lebih sering mengulang-ulang hal buruk.

Saya mencoba merenungkan kembali perjalanan Daud dan berikut beberapa kilasan pembelajaran yang saya dapatkan. Continue reading “Daud : Sebuah Catatan”

Beria-ria Meninggalkan Jejak

Penulis: Wiji Suprayogi
Bacaan: Habakuk 3

“Sekalipun pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah, hasil pohon zaitun mengecewakan, sekalipun ladang-ladang tidak menghasilkan bahan makanan, kambing domba terhalau dari kurungan, dan tidak ada lembu sapi dalam kandang, namun aku akan bersorak-sorak di dalam TUHAN, beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkan aku. ALLAH Tuhanku itu kekuatanku: Ia membuat kakiku seperti kaki rusa, Ia membiarkan aku berjejak di bukit-bukitku. (Untuk pemimpin biduan. Dengan permainan kecapi).”

Habakuk 3:17 – 19

“Hidup itu, janganlah suka berandai-andai, sebab akan susah hidupmu. Kalau berandai-andai nanti kita tidak bisa mengerjakan apapun. Sedikit-sedikit mengeluh jadinya. Andai ada uang aku akan … andai ada mobil aku bisa …. andai ada traktor aku akan …. andai ada rumah … andai-andai saja jadinya. Hidup itu mungkin sebaiknya menjadi walaupun. Walapun tidak ada uang saya tetap bersyukur masih bisa makan … walaupun mungkin hidup saya susah tapi saya tetap bisa berbagi … walaupun mungkin saya susah tapi saya tidak korupsi … saya akan berusaha semampu saya dan tidak akan mengeluh. Maka janganlah kita mendasarkan hidup ini pada perandaian saja.”

Kalimat di atas diucapkan oleh seorang Guru yang juga penggiat pertanian organik—walau bukan penggiat besar, begitu istilah dia sendiri. Saya cukup takjub dengan semangatnya ini. Saya tahu jika dibandingkan dengan guru lain dia pastilah disebut guru biasa saja. Bukan guru tetap dan hanya guru honorer. Bukan pula petani dengan lahan raksasa. Tapi dalam segala kekuranganya dia mau berbagi dan menurut saya hidupnya berlebih dalam banyak hal. Dalam segala kesusahanya saya lebih sering melihat dia bercanda dan menebarkan kebahagiaan. Continue reading “Beria-ria Meninggalkan Jejak”

Mari Keluar

Penulis: Wiji Suprayogi
Bacaan: Kejadian 8

Lalu keluarlah Nuh bersama-sama dengan anak-anaknya dan isterinya dan isteri anak-anaknya.(Kejadian 8:18)

Selama air bah belum surut, Nuh hidup dalam sebuah dunia kecil yang lengkap. Di dalamnya tinggal berbagai makhluk dan sebuah sistem kehidupan yang nyaman dan berkecukupan. Jika kita sedikit berimajinasi, mudah bagi Nuh merasa dirinya dewa penyelamat bagi semua makhluk dalam bahtera. Sedikit lagi mungkin ia akan menganggap dirinya Tuhan. Bukankah Nuh diberkati, jujur, saleh, dan dipilih untuk menyelamatkan dunia (bdk. Kej. 6:9)? Sungguh suatu surga kecil yang sempurna bagi Nuh dan keluarganya. Continue reading “Mari Keluar”