Kisah Dua Taman

Penulis : Arie Saptaji

Taman Getsemani.

Tampaknya kita akan memahami lebih jauh taman ini bila mengaitkannya dengan taman lain yang ada ribuan tahun sebelumnya: Taman Eden.

Keduanya berkaitan erat.

Keduanya seperti sepasang tembang yang sahut-menyahut.

Masing-masing menandai suatu titik penting dalam sejarah hubungan Allah dengan ciptaan yang paling dipedulikan-Nya: kita manusia.

Di taman yang pertama, Allah menempatkan anak-anak-Nya yang pertama. Taman yang sungguh amat elok, penuh dengan pepohonan yang menarik dan baik untuk dimakan, dan dialiri empat sungai yang berlimpah. Di taman itulah Allah membangun persekutuan yang penuh kasih dengan anak-anak-Nya itu karena Dia merindukan mereka bertumbuh menjadi serupa dengan gambar-Nya: melalui ketaatan kepada perintah-Nya. Perintah-Nya, sekalipun keras, mendatangkan kehidupan; sebaliknya, ketidaktaatan mendatangkan kematian, keterpisahan dari hadirat-Nya.

Dan, di taman itu, anak-anak Allah memilih jalan pemberontakan. Mereka menolak hubungan kasih itu. Mereka memilih untuk menentukan sendiri apa yang baik dan apa yang jahat.

Taman Eden menyaksikan kegagalan manusia untuk taat.

Di taman yang kedua, Allah menempatkan Anak tunggal-Nya. Taman tempat biji-biji pohon zaitun dihancurkan dan diperas sehingga menghasilkan minyak yang berguna untuk penerangan, bahan makanan, atau bahkan obat penyembuh. Di taman itulah Anak Allah menjadi Biji Zaitun yang diremukkan. Dia datang dengan misi mengundang dan mengajak pulang anak manusia yang terhilang dan tersesat karena mengikuti jalannya masing-masing. Dia datang untuk mengumandangkan: pintu rumah Bapa terbuka lebar bagi siapa saja yang mau kembali.

Untuk itu, di Taman Getsemani Yesus Kristus harus membayar harga yang teramat mahal. Dia gentar dan merasa sendirian. Dia ketakutan. Anak Allah—ketakutan! Dia memilih untuk menanggung beban yang paling berat, kesengsaraan yang paling pedih, jalan yang paling rumpil. Tiga kali ia berdoa, meminta agar cawan itu dilakukan daripada-Nya. Tiga kali Dia memohon. Namun, kesunyianlah yang menjawab-Nya. Orang-orang yang diharapkan turut melipur-Nya—tertidur, tak sanggup berjaga-jaga bersama-Nya. Dia harus menempuh jalan itu seorang diri.

Di Taman Getsemani Dia bergumul. Di malam yang tuli itu.

Untuk memulihkan hubungan yang terkoyak antara Allah dan anak-anak manusia yang pemberontak. Untuk membayar harga tebusan dosa dan memperlihatkan dosa betapa parah dosa itu telah menyeret manusia ke dalam kebobrokan. Untuk menyatakan betapa lebarnya, betapa panjangnya, betapa tingginya, dan betapa dalamnya kasih, kesabaran, dan pengampunan Bapa. Dia—Anak domba Allah yang tidak bercacat dan tidak bercela—harus mencurahkan darah-Nya. Dan, Bapa akan menahan tangan pertolongan-Nya.

Akhirnya, Dia mempersembahkan kehendak-Nya—agar kehendak Bapa-Nyalah yang terjadi.

Dia meminum cawan itu.

Taman Getsemeni menyaksikan pergumulan Anak Allah—sampai menitikkan keringat darah—untuk berserah.

Eden berarti ”tempat kesukaan.” Namun, di situ berlangsung pemberontakan anak manusia—dan melahirkan lagu ratap kesengsaraan.

Getsemani berarti ”tempat pemerasan.” Namun, di situ berlangsung penyerahan diri Anak Allah—dan melahirkan lagu sukacita kemenangan.

Foto lukisan Jean-Michel Basquiat berjudul Fallen Angel diambil dari situs theartstack

Jika Anda merasa terberkati, mari berbagi berkat bersama kami agar berbagai hikmat Alkitab ini makin tersebar luas dan memberkati lebih banyak orang. Kami yakin Donasi kita bersama akan bergema di keabadaian.
Jika Anda ingin langsung mendukung penulis, silahkan klik tautan berikut ini : ARS

Terimakasih telah memutuskan mendukung kami.

Kepemimpinan Satu Arah versus Kepemimpinan Timbal Balik

Penulis : Arie Saptaji

Rasanya ada yang ganjil dengan konsep kepemimpinan yang didengung-dengungkan dan dijalankan di sebagian gereja. Kepemimpinan berorientasi sebagai status atau jabatan. Begitu seseorang menduduki jabatan tertentu–pemimpin sel, pemimpin pujian, pendeta senior–jadilah ia pemimpin. Pemimpin di level bawah bisa dipromosikan, tetapi bisa juga digeser dan digantikan. Namun, pemimpin puncak, apalagi sekaligus perintis jemaat, biasanya akan menduduki jabatan itu seumur hidup. Tak tergoyahkan.

Kepemimpinan bersifat tunggal dan satu arah. Top-down. Perkataan pemimpin tertinggi adalah wahyu terkini dari surga. Jemaat diharapkan mendengarkan baik-baik dan menaatinya tanpa cerewet menanyakan ini-itu dan dilarang keras mempertanyakan pewahyuan itu. “Aku memerintah, kamu taat.” Tak terbantahkan. Continue reading “Kepemimpinan Satu Arah versus Kepemimpinan Timbal Balik”

Keraguan Tomas

Penulis : Arie Saptaji

Khotbah petang ini, berdasarkan Yohanes 20:19-31, membukakan sisi baru tentang keraguan Tomas.

Tomas sesungguhnya bukan meragukan Tuhan Yesus Kristus. Tomas lebih menunjukkan keraguan pada murid-murid yang lain. Ia tidak bersedia menelan bulat-bulat kesaksian mereka.

Aku mengulum senyum menyimak pernyataan itu, dan imajinasiku menjelajahi sejumlah ruang kemungkinan.

Mungkin Tomas bukan tidak percaya. Bisa jadi ia iri karena tidak ikut mengalami perjumpaan istimewa itu. Bisa jadi ia menyesal karena saat itu sedang tidak bersama dengan para murid yang lain. Bisa jadi juga, ia tidak puas hanya mengamini pengalaman orang lain; ia ingin mengalami secara langsung perjumpaan dengan Tuhan yang telah bangkit. Continue reading “Keraguan Tomas”

Jalan Kematian

Penulis: Wiji Suprayogi

Semua orang akan mati. Itu pasti. Waktunya tidak tahu. Bisa saat bayi, bisa masa remaja, bisa masa tua. Jadi mati itu bukan persoalan umur. Mati adalah persoalan kepastian. Semua manusia meyakini setelah kematian akan ada fase baru bagi mereka, entah itu kehampaan atau kekosongan, penderitaan tak berkesudahan, perjalanan lagi untuk kembali ke bumi, atau kebahagiaan kekal. Karenanya manusia bersikap beragam terhadap kematian ini. Mereka sadar setelah kematian ada fase baru. Dan kebanyakan dari kita beranggapan kematian adalah jalan menuju fase itu.

Alkisah ada sekumpulan teolog berdebat tentang jalan menuju surga atau fase bahagia setelah kematian. Mereka menunjukkan banyak cara dan banyak jalan. Tidak ada yang sama dan bahkan mereka saling berdebat tidak karuan. Karena pusing, iseng mereka bertanya pada anak kecil yang sedang bermain, “Bagaimana cara manusia masuk surga?” Si anak kecil menjawab dengan lugu tapi membungkam perdebatan, “Mati dulu Pak, nanti bisa masuk surga” Continue reading “Jalan Kematian”